Tren hustle culture mendorong generasi muda untuk bekerja sepenuh jiwa, terkadang sampai mengorbankan mental health dan kehidupan pribadinya. Kini, muncul tren baru sebagai tandingannya yakni quiet quitting.
Bertentangan dengan hustle culture, tren baru quiet quitting mendorong seseorang untuk bekerja dengan sangat minimalis. Hanya mengerjakan apa yang ditugaskan, menyelesaikannya tepat waktu, dan tidak menerima lembur.
Sebenarnya, ada banyak definisi yang menjelaskan tren quiet quitting. Namun pada prinsipnya, quiet quitting adalah mengambil jarak dengan pekerjaan dan memberikan prioritas lebih banyak pada kehidupan pribadi.
Dikutip dari Kumparan, banyak penyebab orang memutuskan untuk melakukan quiet quitting. Faktor terbesar adalah keinginan untuk bisa mengembalikan keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan pribadi mereka (work-life balance), yang dirasa hilang akibat terlalu mendedikasikan diri untuk pekerjaan.
Selain itu, fenomena quiet quitting juga dilihat sebagai strategi yang dilakukan untuk melindungi diri dari burnout yang disebabkan oleh kerja berlebih.
Baca juga: Ini 6 Langkah Mencegah Stres di Tengah Kesibukan Kerja
Dalam survei yang dilakukan oleh Deloitte, rasa kelelahan berlebih tercatat sebagai salah satu faktor kuat yang memicu generasi muda untuk berhenti dari pekerjaan. Dalam survei dengan cakupan global itu, 40 persen dari para Gen Z (orang-orang usia 19–24 tahun) dan 24 persen dari para milenial (usia 28–39 tahun) akan meninggalkan pekerjaannya dalam kurun waktu dua tahun.
Namun, resign dari pekerjaan juga tidak mudah dilakukan. Banyak hal yang harus dipertimbangkan matang-matang. Selain itu, proses pengunduran diri dari kantor juga membutuhkan proses yang cukup rumit, sehingga justru berpotensi menambah beban kamu.
Manfaat Quiet Quitting untuk Kesehatan
Apakah fenomena quiet quitting ini baik untuk dilakukan? Apakah quiet quitting bermanfaat untuk kesehatan mental? Simak penjelasan beberapa ahli yang dikutip dari Kumparan.
1. Membantu menciptakan batasan untuk kita

Psikolog asal Inggris, Lee Chambers, mengungkapkan bahwa quiet quitting merupakan metode untuk menciptakan batasan antara pekerjaan dan kehidupan pribadi.
Lee mengutip sebuah penelitian tahun 2021, yang menjelaskan keberhasilan para tenaga kesehatan dalam mencegah burnout selama pandemi COVID-19 berkat menerapkan batasan antara hidup pribadi dan pekerjaan.

Menurut dosen senior program studi Ilmu Pengetahuan Sosial di University of Bristol, Nilufar Ahmed, keseimbangan antara hidup pribadi dan pekerjaan (work-life balance) memang berkaitan dengan kesehatan mental.
Work-life balance yang buruk mampu menyebabkan kecemasan. Hal ini bisa berkaitan langsung dengan kesehatan mental. Pada akhirnya, quiet quitting bisa menjadi solusi atas masalah ini, mengingat tujuan dari quiet quitting adalah mengembalikan keseimbangan tatanan hidup.
Baca juga: Kenali Momen-momen yang Tepat untuk Cari Kerja Baru

Burnout merupakan salah satu tantangan terbesar yang dihadapi para pekerja. Kelelahan bekerja dan buruknya work-life balance bisa menjadi penyebab kamu mengalami burnout.
Saat burnout sudah terjadi, bekerja menjadi hal yang sangat berat dilakukan. Tak jarang, penderita burnout justru jadi membenci pekerjaan mereka. Ini tentunya tidak baik untuk kesehatan mental.

Tidak bisa dipungkiri, menghabiskan waktu dengan orang tersayang mampu meningkatkan kesejahteraan seseorang. Setuju nggak? Ketika kesejahteraan terjamin, kesehatan mental pun akan mengikuti.
Nah, menurut seorang psikoterapis dan penulis asal Inggris, Tania Taylor, quiet quitting bisa menjadi metode untuk mencapai kesejahteraan itu.
Tania menjelaskan bahwa quiet quitting mampu memberikan lebih banyak waktu untuk melakukan aktivitas yang menyenangkan, seperti berkumpul dengan orang tersayang.
Tak hanya itu, Tania menegaskan bahwa quiet quitting dapat mengingatkan bahwa pekerjaan bukanlah satu-satunya hal yang menentukan nilai diri kita sebagai manusia.
Nah dari penjelasan ketiga ahli di atas, bisa disimpulkan bahwa quiet quitting ternyata bermanfaat untuk kesehatan mental. Sebab, jika dilakukan dengan benar, quiet quitting mampu memperbaiki work-life balance. Ini pun mampu mencegah terjadinya burnout serta meningkatkan kesejahteraan.