Seiring dengan pemberian izin penggunaan di masa darurat atas sejumlah vaksin COVID-19 pada akhir tahun 2020 lalu, optimisme warga dunia bangkit. Berbagai negara mulai menggelar program vaksinasi pada akhir tahun 2020 dan menaruh harapan pada efektivitas vaksinasi dalam menghentikan pandemi COVID-19. Di awal tahun 2021, jumlah negara yang menggelar vaksinasi kian bertambah, termasuk Indonesia yang memulai vaksinasi COVID-19 pada 13 Januari lalu.
Namun kurang lebih enam bulan program vaksinasi bergulir di banyak negara, derajat kegawatan penularan virus corona di berbagai negara justru meningkat. India bisa disebut sebagai contoh negara yang malah mengalami peningkatan darurat kesehatan.
Angka infeksi baru kasus COVID-19 meroket tajam di India sejak akhir Maret. Demikian juga dengan angka kematian akibat infeksi virus corona. Angka tertinggi infeksi baru virus corona di India sepanjang tahun 2020 yang berada di kisaran 95.000-an, berulang kali terpecahkan sejak 7 April lalu.
Efektivitas vaksinasi dan kaitannya dengan pandemi yang masih berlangsung
India bukan satu-satunya negara di dunia yang mengalami pandemi yang kian buruk. Banyak negara, sejatinya, belum terlepas dari ancaman munculnya gelombang baru infeksi virus corona. Kecemasan itu bermuara pada munculnya berbagai varian baru virus corona, yang disebut-sebut memiliki daya penularan lebih tinggi. Pertanyaan ini pun mulai muncul di benak banyak orang, sejauh manakah efektivitas vaksinasi dalam menghentikan pandemi COVID-19?
Jika merujuk ke pandangan para ahli, dan otoritas kesehatan di seluruh negara, serta Organisasi Kesehatan Dunia, vaksin hingga kini masih merupakan bentuk terapi kesehatan paling aman dan bisa diandalkan manusia untuk mencegah infeksi yang diakibatkan patogen. Hanya vaksin yang mampu memicu sistem kekebalan tubuh manusia untuk menangkal serangan patogen, seperti virus corona.
Dan untuk mengatasi pandemi yang diakibatkan patogen yang bersifat menular, tidak ada jalan bagi manusia selain berupaya menciptakan kekebalan kelompok alias herd immunity. Cara menciptakan herd immunity yang paling aman ialah dengan program vaksinasi.
Tetapi, fakta bahwa pandemi masih berlangsung menunjukkan bahwa vaksinasi saja tidak cukup untuk menghentikan pandemi. Karena, mengingat penularan virus corona sudah berstatus pandemi, yang artinya terjadi di seluruh wilayah di dunia, maka lingkup pembentukan herd immunity juga harus memenuhi skala dunia pula. Dan para ahli sudah memprediksi ini bukan hal yang mudah.
Sakiko Fukuda-Parr, anggota Komisi Persatuan Bangsa-bangsa untuk Kebijakan Pembangunan, dalam wawancara dengan The Financial Times, akhir tahun lalu, sudah memprediksikan kerumitan mencapai herd community dalam skala dunia. Ia menyebut, bahkan jika ada vaksin yang efektif sekalipun, pandemi tidak akan serta-merta berakhir. Pandemi baru berakhir jika seluruh orang di dunia bisa mengakses vaksin tersebut.
Namun, tanpa pasokan vaksin yang memadai, berbagai negara akan saling berlomba memborong vaksin. Dan celakanya, selama dunia belum mencapai kekebalan kelompok, virus corona pun terus mengalami proses mutasi. Para ahli virus berulang kali menginformasikan kehadiran varian baru virus corona. Beberapa di antaranya yang diwaspadai seperti virus yang pertama kali terdeteksi di Inggris, Afrika Selatan, juga India.
Cara meningkatkan efektivitas vaksinasi
Namun kehadiran varian baru virus corona tidak perlu menjadi alasan kita untuk mempertanyakan efektifivitas vaksinasi. Galit Alter, immunologist dari Harvard Medical School, seperti dikutip dari The Harvard Gazette, Februari 2021 lalu, menyatakan, Apa yang kita lihat adalah kekebalan yang diberikan oleh vaksin pada dasarnya dapat sepenuhnya membatasi wabah apapun pada penduduk. Merujuk ke pandangan Alter itu, maka kita bisa memusatkan perhatian pada cara meningkatkan efektivitas vaksinasi berikut untuk menakar seberapa cepat pandemi akan berakhir.
1. Akses yang merata terhadap vaksin dengan tingkat efikasi memadai
Saat ini baru sebagian kecil penduduk dunia yang sudah divaksin. Untuk memastikan seluruh negara di dunia memiliki akses yang merata terhadap vaksin Covid-19, dunia mengandalkan Covax Facility, suatu aliansi internasional yang melibatkan berbagai lembaga dunia seperti WHO, Unicef dan GAVI, yang peduli terhadap vaksinasi dan imunisasi.
Covax Facility membuka pintu bagi negara yang memiliki kemampuan keuangan terbatas untuk mendapatkan vaksin COVID-19 secara gratis. Skema Covax juga bisa dimanfaatkan oleh negara yang punya kemampuan finansial, namun memiliki keterbatasan akses ke produsen vaksin. Negara-negara yang masuk dalam kategori terakhir ini, bisa memesan vaksin COVID-19 melalui jalur Covax.
Mulai terbentuk pada pertengahan tahun 2020, Covax menargetkan pengiriman 2 miliar dosis vaksin COVID-19 ke seluruh dunia di sepanjang tahun 2021. Di tahun berikutnya, Covax menargetkan pengiriman 1,8 miliar dosis vaksin COVID-19 ke 92 negara dengan pendapatan rendah pada awal tahun 2022.
Sejak Februari hingga pertengahan Mei tahun ini, skema Covax telah mendistribusikan sebanyak 70 juta dosis vaksin COVID-19 ke 126 negara dan yurisdiksi di seluruh dunia. Namun untuk mencapai target penyaluran vaksin ke negara berpenghasilan rendah, Covax dalam siaran pers bersamanya yang termuat di situs WHO, meminta negara-negara dan para donor untuk meningkatkan komitmen mereka.
Baca juga: Simak Roadmap Program Vaksinasi COVID-19 di Indonesia
2. Meningkatkan kapasitas produksi vaksin yang masih terbatas
Sejauh ini, para pengembang vaksin memang tidak pernah mempublikasikan kapasitas produksinya. Namun dari hasil menelisik berbagai media di sepanjang tahun ini, muncul gambaran tentang kapasitas produksi vaksin COVID-19 yang masih di bawah kebutuhan ideal.
Gambaran semacam itu, misalnya terlihat dalam artikel The Economist pada Februari lalu. Majalah bergengsi itu memperkirakan, separuh dari total kebutuhan vaksin Covid-19 di tahun ini, yang berkisar 3 miliar dosis, akan dipasok oleh India. Dan, Serum Institute of India, yang merupakan produsen terbesar vaksin di India, meragukan target tersebut bisa terpenuhi. Keterbatasan kapasitas produksi vaksin COVID-19 di masa kini juga terendus dari berita tentang rencana Pfizer dan Moderna, dua pengembang vaksin COVID-19, untuk mendirikan pabrik baru.
3. Penduduk perlu mengikuti program vaksinasi secara tuntas
Vaksinolog Dirga Sakti Rambe yang dikutip Detik, menegaskan, kehadiran vaksin memang tidak serta merta menghilangkan pandemi. Berbicara dalam virtual diskusi Kebaikan Vaksin Pulihkan Indonesia, 12 Desember 2020, Dirga menyebut, selain pembuatan vaksin yang menghadapi kendala, ada juga cakupan yang harus dipenuhi untuk membentuk kekebalan bersama. Menurut dia, secara teoritis kekebalan bersama bisa tercapai jika sebesar 60% hingga 70% penduduk sudah divaksinasi.
Pemerintah Indonesia menargetkan sasaran penerima vaksin COVID-19 mencapai 181 juta jiwa. Angka target itu sesuai dengan skenario herd immunity yang ingin dicapai pemerintah, yang sebesar 70% dari total populasi.
Tentu, melakukan vaksinasi ke orang sebanyak itu membutuhkan waktu. Pertama-tama, perlu ada waktu jeda di antara penyuntikan dosis pertama dan dosis kedua. Vaksin Sinovac yang paling banyak digunakan membutuhkan rentang waktu penyuntikan antara dosis pertama dan kedua hingga 28 hari. Sedangkan interval penyuntikan dosis pertama dan dosis kedua vaksin AstraZeneca lebih panjang lagi, mencapai 12 pekan. Itu sebabnya, peran serta masyarakat untuk mempercepat herd immunity bisa dilakukan dengan mengikuti program vaksinasi secara tuntas, dari mulai dosis pertama hingga kedua.
4. Vaksinasi perlu dilaksanakan bersamaan dengan penerapan protokol kesehatan
Mengingat proses pembentukan kekebalan tubuh dan kekebalan kelompok membutuhkan waktu, maka setiap orang yang sudah divaksin tetap harus disiplin menerapkan protokol kesehatan. Mengapa? Karena masih banyak orang di sekitarnya yang belum mendapatkan vaksin dan kekebalan tubuh pun belum tentu sudah terbentuk jika belum tuntas mengikuti dua tahap vaksinasi.
Penerapan protokol kesehatan, menurut para ahli kesehatan, penting untuk memutus mata rantai penyebaran virus. Salah satu tujuan dari pemutusan transmisi ini adalah menghambat proses mutasi. Dengan kata lain, ketaatan penerapan protokol kesehatan akan mencegah peluang kemunculan varian baru virus corona.
Itu sebabnya, para ahli kesehatan juga otoritas di berbagai negara, termasuk Satgas Pengendalian COVID-19 di Indonesia, tetap mengharuskan penerapan protokol kesehatan 5M, yakni memakai masker, mencuci tangan dengan sabun dan air mengalir atau hand sanitizer, menjaga jarak, menjauhi kerumunan, dan membatasi mobilisasi dan interaksi.
Baca juga: Sekolah Tatap Muka Sudah Diperbolehkan, Apa Saja yang Perlu Disiapkan?
Semoga dengan pemaparan di atas, kamu bisa ambil bagian dalam upaya meningkatkan efektivitas vaksinasi dalam rangka menghentikan pandemi COVID-19. Sebagai upaya perlindungan finansial dari risiko sakit, jangan lupa pula untuk melindungi dirimu dengan asuransi kesehatan. Salam sehat!