Jakarta, 4 Maret 2020 – Kilas balik kondisi perekonomian global tahun 2019 lalu mencatatkan perkembangan geopolitik di sejumlah negara, perang dagang antara AS dan China, sampai fluktuasi harga komoditas dan perlambatan ekonomi secara global. Berita positif datang dari Bank Sentral Amerika yang memberi kepastian tidak dinaikkannya suku bunga Amerika. Sepanjang tahun lalu, perkembangan perundingan dagang antara AS dan China yang maju-mundur, belum menunjukkan kesepakatan konkrit untuk menyelesaikan konflik dagang yang telah berlangsung sejak tahun 2018. Rencana kesepakatan perjanjian tahap 1 akan dibahas pada Januari 2020. Sampai akhir tahun 2019, gesekan antara AS dan China ini berdampak negatif terhadap perekonomian global, termasuk Asia. Dampak dari perlambatan ekonomi global menyebabkan harga dan permintaan komoditas yang menjadi andalan ekspor Indonesia semakin tersungkur.
Sedangkan di dalam negeri, tahun 2019 adalah tahun politik dengan adanya Pilpres (Pemilihan Presiden) dan Pileg (Pemilihan Legislatif) secara bersamaan. Banyak pelaku usaha menahan diri sehingga pertumbuhan tingkat investasi cenderung lebih lambat dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Hal itu juga diperparah dengan aksi terkait penolakan hasil KPU Pemilu 2019 di sejumlah titik di Jakarta. Namun hal itu dapat dengan cepat diantisipasi oleh pemerintah yang berkerja sama dengan TNI – Polri sehingga kembali meningkatkan kepercayaan investor.
Di sisi lain ekonomi dan pasar modal juga mengalami beberapa tekanan karena kondisi eksternal melalui jalur perdagangan dan keuangan. Dari jalur perdagangan, timbulnya kontraksi pada sisi ekspor domestik, khususnya dari penurunan harga komoditas, perlambatan arus investasi, dan juga pelemahan aktifitas manufaktur.
Pada jalur keuangan, ketidakpastian kondisi global membuat investor bersikap risk-averse yaitu cenderung menghindari aset-aset berisiko tinggi seperti saham dan lebih memilih investasi di obligasi yang cenderung lebih aman. Berita tentang dinaikkannya cukai rokok juga menjadi katalis negatif bagi indeks tanah air, walaupun implementasinya dilakukan di tahun 2020, namun rencana pemerintah tersebut sudah menjadi pemberat indeks, khususnya sektor konsumsi, pada bulan September tahun lalu.
Namun tahun 2019 membawa peruntungan bagi pergerakan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS), dimana Bank Indonesia (BI) mengeluarkan kebijakan moneter agar lebih akomodatif dengan memotong bunga acuan sebanyak 4 kali sebagai upaya untuk menjaga momentum pertumbuhan ekonomi domestik. Di akhir tahun, rupiah menguat 4,27% ke level Rp 13.880/USD.
“Di tahun politik Indonesia dan ketidakpastian ekonomi global, Allianz Indonesia menutup tahun 2019 dengan perkembangan return investasi yang baik dengan total dana kelolaan (Asset Under Management/AUM) sebesar Rp 40,18 triliun atau naik sebesar 14% dibandingkan dengan tahun sebelumnya sebesar Rp 35,33 triliun, termasuk dana kelolaan Dana Pensiun Lembaga Keuangan (DPLK) Allianz. Portfolio AUM Allianz Indonesia ini terdiri dari dana yang dikelola dari produk unit link sebesar 53%, asuransi jiwa dan kesehatan sebesar 25% dan DPLK sebesar 22%,” kata Ni Made Daryanti, Chief Investment Officer Allianz Life Indonesia.
Dalam pergerakan kondisi pasar yang volatil, Allianz Indonesia dapat dengan baik mengelola 60 fund. Beberapa fund yang paling banyak dipilih oleh nasabah sepanjang 2019, adalah SmartLink Equity Fund dengan dana kelolaan Rp 10,17 triliun, SmartLink Balanced Fund dengan dana kelolaan Rp 2,16 triliun dan SmartLink Fixed Income Fund dengan dana kelolaan sebesar Rp 1,35 triliun.
Allianz Indonesia juga tetap mempertahankan kepercayaan untuk mengelola aset nasabah dengan kenaikan jumlah tertanggung sebanyak 9,49 juta atau bertambah sebesar 18,9% dari tahun sebelumnya sebanyak 7,92 juta tertanggung.