Munich, 20 Oktober 2023 – Allianz kembali meluncurkan laporan “Allianz Global Wealth Report” edisi ke-14, yang memaparkan analisis secara menyeluruh terkait kondisi aset dan hutang rumah tangga di hampir 60 negara.
Tahun yang Menantang
Tahun 2022 merupakan tahun yang cukup menantang bagi para penabung (savers). Harga-harga aset secara keseluruhan merosot pada siklus “depresi”. Dampaknya terlihat pada penurunan aset keuangan global rumah tangga pribadi sebesar -2,7% , yang mana hasil tersebut merupakan penurunan paling tajam sejak Global Financial Crisis (GFC) pada tahun 2008 lalu. Meski demikian, kondisi tiga kelas aset utama menunjukkan pertumbuhan dan penurunan yang berbeda. Ketika terjadi penurunan pada sekuritas sebesar -7,3% dan asuransi/dana pensiun sebesar -4,6%, deposit bank justru mengalami pertumbuhan yang kuat di angka 6%. Secara keseluruhan, aset keuangan mengalami kerugian senilai EUR6,6 triliun, sehingga total aset keuangan tercatat senilai EUR233 triliun pada akhir tahun 2022, dimana EUR63,9 triliun atau 27% dari nilai tersebut disokong oleh rumah tangga di wilayah Asia.
Penurunan paling banyak dialami oleh Amerika Utara (-6.2%) dan kemudian diikuti oleh Eropa Barat (-4.8%). Asia, sebaliknya, masih menorehkan pertumbuhan yang cukup kuat dengan rata-rata mencapai angka 4,6% di tahun 2022. Bahkan Jepang masih menunjukkan adanya pertumbuhan, walaupun pertumbuhannya tercatat cukup rendah (0.2%). Kondisi di negara-negara berkembang seperti Indonesia dan Filipina mencatat pertumbuhan hingga dua digit. Aset finansial di Cina juga terbilang kokoh dengan pertumbuhan sebesar 6,9%, namun jika dibandingkan dengan pertumbuhan di tahun sebelumnya (13,3%) dan rata-rata pertumbuhan yang telah diraih selama 20 tahun terakhir (15.9%), tahun ini Cina menunjukkan pertumbuhan yang cukup mengecewakan. Kebijakan isolasi berulang kali akibat pandemi (lockdown) tentunya memberikan dampak yang sangat besar bagi mereka.
Kekayaan Tergerus
Terlepas dari adanya kerugian, di akhir tahun lalu aset keuangan rumah tangga global masih berada pada angka 19% di atas masa pra-COVID-19, secara nominal. Namun setelah disesuaikan dengan angka inflasi, hampir 2/3 dari tingkat pertumbuhan terkena imbas kenaikan harga yang kemudian menghambat pertumbuhan aset hingga hanya menjadi sebesar 6,6% dalam tiga tahun terakhir. Ketika kebanyakan negara setidaknya dapat tetap mempertahankan angka pertumbuhan pada aset, Eropa Barat mengalami yang sebaliknya : keuntungan terhapus dan bahkan jumlah kekayaan menurun -2,6% dibandingkan tahun 2019. Penurunan tersebut berbanding terbalik dengan kondisi di kawasan Asia, dimana keuntungan yang didapatkan mampu mencapai hampir 20% sepanjang tiga tahun terakhir berkat inflasi yang terkendali, termasuk di Cina dan Jepang.
Ludovic Subran selaku Chief Economist of Allianz menyebutkan, “Selama bertahun-tahun, para penabung selalu melontarkan keluhan atas bunga nol persen. Tetapi pada dasarnya musuh sejati bagi para penabung adalah inflasi, bahkan sebelum inflasi yang diakibatkan oleh pandemi Covid-19. Selama 20 tahun terakhir, tiga perempat dari nominal pertumbuhan dalam aset keuangan terkena imbas terhapus akibat dari inflasi. Hal ini menandakan pentingnya pengelolaan keuangan yang cerdas serta peningkatan literasi keuangan. Namun inflasi adalah rintangan yang sangat sulit ditaklukan. Tanpa adanya saran dari profesional untuk pengelolaan keuangan jangka panjang, maka para penabung tentunya akan mengalami kesulitan,”.
Tingkat pertumbuhan tidak terlalu tinggi
Pasca-kemerosotan di tahun 2022, aset keuangan global tentunya harus kembali bangkit pada pertumbuhan di 2023. Sejauh ini, perkembangan positif yang terjadi di pasar saham dapat mendukung optimisme ini. Secara keseluruhan, diharapkan pertumbuhan pada aset keuangan meningkat sekitar 6%, dengan juga lebih mempertimbangkan ‘normalisasi’ dari kelanjutan perilaku menabung. Dengan tingkat inflasi global di angka 6% pada tahun 2023, para penabung seharusnya dapat terhindar dari kerugian pada aset keuangan setidaknya selama satu tahun lagi.
“Untuk prospek jangka menengah, diperkirakan masih akan muncul beragam kemungkinan,” ucap Michaela Grimm, penulis/co-author laporan ini. “Tidak akan ada faktor penunjang moneter atau ekonomi. Rata-rata pertumbuhan diperkirakan akan berada di antara angka 4% hingga 5% dalam tiga tahun ke depan, dari asumsi rata-rata imbal hasil pasar saham. Namun seperti layaknya cuaca yang semakin ekstrem di tengah perubahan iklim, akan ada lebih banyak lagi perubahan pasar dalam lanskap geopolitik dan ekonomi yang baru. Tahun-tahun 'normal' mungkin akan menjadi pengecualian.”
Fase pengetatan
Pemulihan tingkat suku bunga juga berdampak pada sisi hutang di neraca keuangan rumah tangga pribadi. Setelah peningkatan hutang swasta secara global sebesar 7.8% di tahun 2021, tahun kemarin melemah secara signifikan hingga 5.7%. Di kawasan Asia, pertumbuhan hutang telah berkurang hampir setengah dari 10.3% (2021) menjadi 5.8% (2022). Penurunan paling tajam terlihat pada kondisi di Cina: pertumbuhan hutang tahun lalu di 5.4% yang merupakan pertumbuhan utang terendah yang pernah tercatat. Secara keseluruhan, total hutang rumah tangga secara global hingga akhir tahun 2022 senilai EUR55,8 triliun, yang mana EUR18,1 triliun (32%) berasal dari rumah tangga di Asia. Selisih antara hutang dan pertumbuhan ekonomi membesar hingga 3,9pp/percentage point, rasio hutang terhadap PDB global (liabilitas sebagai persentase dari PDB) turun secara signifikan lebih dari 2pp menjadi 66% di tahun 2022. Hal tersebut juga membuktikan bahwa rasio hutang global untuk rumah tangga pribadi telah kembali pada level yang sama seperti di awal milenium, sebuah tingkat stabilitas yang luar biasa ketika dunia saat ini disebut tenggelam dalam hutang. Namun, ada beberapa perubahan besar dalam pemetaan hutang dunia. Yang pertama, stabilitas menjadi sebuah karakteristik di negara-negara maju, namun di sisi lain sebagian besar pasar telah melihat rasio hutang meningkat tajam dalam 20 tahun terakhir. Di Asia, rasio ini berada di angka 61% pada akhir 2022, sekitar 7pp di atas level 20 tahun yang lalu. Namun rata-rata ini juga menandakan sebuah perkembangan yang baik. Di Cina misalnya, rasio hutang telah meningkat 3 kali lipat menjadi angka 61%.
Aset keuangan bersih mengalami penurunan sebesar -5.2% menjadi EUR176 triliun, namun Asia menunjukkan sebuah peningkatan sebesar 4.2% menjadi EUR46 triliun. Walaupun demikian, tidak semua negara di kawasan ini menunjukkan pertumbuhan positif setelah adanya hutang. Bahkan di Jepang, Korea Selatan, dan Malaysia menunjukkan penurunan pada nilai bersih aset keuangan, meskipun hanya dengan selisih yang kecil.
Indonesia: Tetap nampak pertumbuhan yang kokoh
Mengacu pada laporan terbaru, aset keuangan rumah tangga di Indonesia menunjukkan pertumbuhan yang kuat sebesar 11% di tahun 2022. Angka pertumbuhan tersebut terbilang signifikan apabila dibandingkan dengan tahun lalu sebesar 8.6%, dan pertumbuhan ini bahkan hampir mencapai 2 kali lipat dari rata-rata negara berkembang (6%). Faktor pendorong utamanya adalah kenaikan surat berharga sebesar 46%, yang merupakan tingkat tertinggi sejak 2011. Deposito di bank juga paling dominan dimana porsinya pada keseluruhan portofolio lebih dari 60% jenis aset di Indonesia, bertumbuh sebesar 4,9% (pada tahun 2021 bertumbuh sebesar 4.2%), namun masih berada di bawah rata-rata jangka panjang sebesar 11%. Kemudian apabila dilihat dari sisi lain, aset-aset seperti asuransi/dana pensiun juga menurun senilai 4%, dan ini merupakan penurunan pertama kali di abad ini.
Jika dibandingkan dengan kondisi pada masa sebelum pandemi di tahun 2019, aset keuangan saat ini menunjukkan nominal yang lebih tinggi sebesar 32%. Namun apabila mengacu pada kondisi inflasi, peningkatan ini turun hingga 22.3% sepanjang tiga tahun ke belakang.
Selain itu, pertumbuhan hutang meningkat tipis menjadi 8.8%, dibandingkan dengan tahun 2021, yaitu 8.4%. Pertumbuhan PDB juga berpengaruh pada penurunan rasio hutang terhadap PDB ke angka 15.7%, yang berarti angka tersebut hampir menyentuh 46pp di bawah rata-rata regional. Nilai aset keuangan bersih mampu mencapai 12.7%, dan apabila dihitung berdasarkan nilai aset keuangan bersih per kapita sebesar EUR960, kali ini Indonesia berada pada posisi ke-55 dalam ranking negara terkaya (dihitung dari aset keuangan per kapita, pada tabel).
“Ketidakpastian ekonomi menuntut kita untuk senantiasa mencermati kondisi keuangan. Perencanaan keuangan yang baik akan membantu dalam mencapai tujuan hidup di masa depan, walaupun perubahan-perubahan situasi ekonomi yang terjadi dapat menjadi tantangan. Memahami apa yang menjadi kebutuhan dan mengenal profil risiko diri juga akan mempermudah pemilihan produk keuangan yang tepat. Perlindungan asuransi akan memitigasi risiko terganggunya keuangan jika suatu saat mengalami risiko kehidupan,” kata Edwin Prayitno, Direktur & Chief Financial Officer Allianz Life Indonesia.
Allianz Indonesia tetap fokus memberikan edukasi kepada masyarakat tentang pentingnya perlindungan asuransi dan mengomunikasikan manfaat yang bisa diperoleh, serta terus mendampingi masyarakat menghadapi tantangan ekonomi di masa mendatang.
“Peta Keuangan Global Allianz” interaktif dapat ditemukan di beranda kami Allianz Global Wealth Map. Anda dapat menemukan studi di beranda kami di sini.